Jembatan yang membelah pedalaman Sungai Mahakam. |
Ketemu lagi semuanya.
Apa kabar kalian semua?
Kali ini aku akan membagikan pengalaman masuk ke hulu sungai Mahakam, melawan arus menuju Melak, Kab. Kutai Barat Kaltim.
Dulu banget waktu masih kecil dan tinggal di kota Samarinda aku sering mendengar yang namanya Melak atau kadang orang-orang Dayak asal Kutai Barat yang tinggal dan menetap di kota Samarinda selalu bilang istilah "pergi ke Hulu" kalau mereka mau pulang kampung ke Melak Kutai Barat.
Nama "Melak" lebih familiar daripada nama "Sendawar", padahal sih sebenarnya ibukota kab Kutai Barat ialah Sendawar. Tapi entah kenapa orang-orang selalu mengatakan "mau pergi ke Melak" daripada "mau pergi ke Sendawar".
Waktu itu aku sama sekali tidak ada bayangan akan mengunjungi Kutai Barat bahkan sekedar berkhayal pun tidak.
Kebanyakan temen-temen atau tetangga saya yang orang Dayak waktu di kota Samarinda merupakan warga suku Dayak asal Kutai Barat. Biasasnya sih sub suku Dayak Benuaq, Dayak Tunjung atau Tonyooi, Dayak Kenyah dan juga Dayak Bahau. Wahh ternyata ada banyak banget yaa sub suku Dayak itu.
Sebenarnya ada banyak sub suku Dayak lainnya tapi rata-rata temen atau tetangga saya yang tinggal dikota Samarinda merupakan sub-sub suku yang saya sebutkan diatas. Bahasa mereka pun berbeda antar sub suku yang ada.
Kebetulan temen dekat ku waktu kecil yang sekaligus juga tetangga rumah dulu rupanya saat ini bertugas dan pindah ke Barong Tongkok, Kutai Barat.
Singkat cerita saya waktu itu berniat ingin main-main ke Kutai Barat mumpung temen dekat sedang tinggal dan bertugas disana. Sekalian numpang bobok (sekaligus makan dan minta dianterin kemana-mana) dirumah dia. *hahaha tamu gak punya harga diri
Akhirnya hari yang ditunggu tiba dan saya pun pergi ke kota Samarinda setelah sebelumya memutuskan untuk "pergi ke Hulu" mendatangi teman lama sekaligus berjalan-jalan (juga numpang bobok + makan) menyusuri Kutai Barat!
Ada dua cara menuju ke Kutai Barat dari kota Samarinda, yang pertama menggunakan jalur sungai (memakai kapal kayu) dan juga lewat jalan darat yang tentunya lebih hemat waktu.
Aku sendiri lebih memilih menggunakan kapal kayu yang berangkat dari pelabuhan / dermaga Sungai Kunjang yang lokasinya tepat berada diseberang terminal bis Samarinda - Balikpapan. Emangnya kenapa pilih jalur sungai yang memakan waktu tempuh lebih lama dan tidak nyaman? Yaa alasan simpelnya karena saya mau liat pemandangan pesisir sungai menuju hulu Mahakam itu seperti apa dan ingin merasakan seperti apa ya kira-kira orang jaman dulu kalau pulang ke Kutai Barat naik kapal kayu sebelum ditemukannya jalur darat? Ohya total perjalanan sungai dari Samarinda memakan waktu tempuh kurang lebih 8-12 jam tergantung kondisi arus, cuaca dan muatan kapal tentunya. Ini yang aku suka, ketidakpastian waktu tempuh itu menimbulkan kegelisahan yang entah kenapa aku menyukainya. Seperti rasa ketidakpastian dalam hubungan ini... menimbulkan entah hormon apa yang menimbulkan sensasi deg-degan seperti candu.
Aku memilih jam sore / senja hari dari Samarinda dengan asumsi biar sampai disana waktunya pas. Tidak terlalu pagi dan tidak terlalu kesiangan.
Begitu sampai di pelabuhan / dermaga, langsung saya tanya ke petugas seperti apa dan bagaimana caranya kalau mau membeli tiket kapal tujuan Melak. Setelah diarahkan saya kemudian memasuki kapal kayu yang ditunjuk. Kapal sudah mulai terisi penuh dan saya segera berbaur bersama penumpang lainnya. Duduk di lambung kapal yang dibuat sedemikian rupa agar bisa digunakan untuk tidur.
Awal naik kapal tersebut badan saya terasa bergoyang-goyang mengikuti kapal yang terombang ambing oleh arus sungai Mahakam. Saya cukup memperhatikan saja sekeliling. Penumpang berbagai macam latar belakang dengan membawa berbagai macam barang bawaan seperti baju, sepeda motor, buah-buahan, sembako dll. Oh iyaa ya mungkin ada diantara mereka yang merupakan pedagang yang habis membeli berbagai macam barang kebutuhan di Kota Samarinda untuk dijual kembali disana.
Andaikata mereka naik bis/mobil via jalur darat mungkin mereka tidak bisa membawa berbagai macam barang sebanyak ini. Bisa jadi inilah kenapa transportasi sungai masih tetap bertahan hingga kini.
Di dalam kapal kalau bosan duduk-tidur-duduk-berbaring-ngelamun bisa naik keatas yang merupakan kantin, biasa sih yang dijual rokok, roti kemasan, teh, kopi, mi instan, gorengan dll. Cuman yang buat aku sedih..... Banyak penumpang atau bahkan kru kapal buang sampah langsung ke badan sungai Mahakam! Arghhhhhhhhhhhhhh bisa dibayangkan berapa banyak sampah plastik yang dibuang oleh semua kapal yang melintas di sungai Mahakam ini?
Bosan duduk dikantin saya memutuskan untuk tidur lagi saja di bawah, entah tidur beneran-tidur ayam-tidur manja saya menghabiskan sisa waktu yang ada.
Terkadang saya terbangun akibat cekikikan anak muda, jeritan adek bayi atau canda tawa bapak-bapak yang ada didalam kapal. Kadang lucu juga sih nguping obrolan orang-orang itu. Ingin rasanya mengkoreksi obroal mereka yang kadang kelewat keliru. Namun apa daya, namanya juga sedang menjadi penguping. Jadi nikmati sajalah.
Kesalahan terbesar saya adalah kenapa waktu itu saya tidak membawa buku untuk dibaca, kan sambil santai bisa membaca. Ditambah lagi baterai telepon genggam saya sudah sekarat ahhh daripada saya mengambil resiko untuk mengisi daya baterai memakai sumber listrik kapal yang sudah jelas tidak bagus untuk usia baterai telpon genggam, lebih baik saya mematikan saja telepon genggam selain untuk menghemat baterai, toh juga selama perjalan menuju Kutai Barat tidak ada jaringan seluler.
Dini hari saya terbangun akibat terguncang-guncang akibat banyaknya gelombang dari kapal lain yang melintas berlawanan arah pertanda sudah dekat dari dermaga Melak.
Pendeknya setelah kapal tertambat sempurna, saya kemudian dijemput kawan saya untuk dibawa kerumahnya.
Pelabuhan Melak di pagi hari, tenang ya airnya. |
Yeaay.... aku berhasil tiba di Kutai Barat!
Jalan utama di Sendawar, Kutai Barat. Besar luas dan mulus ya. |
Setelah cipika cipiki dengan orangtua temen, makan siang, mandi, bobok siang, sorenya diajak keliling Barong Tongkok. Diajak pergi ke jejeran lamin adat (rumah panggung panjang khas suku Dayak) yang berjejer. Kalau tidak salah ada enam rumah lamin yang masing-masing rumah lamin mewakili sub-etnis yang ada di Kutai Barat. Ada lamin Dayak Bahau, Dayak Kenyah, Dayak Tunjung, Melayu, Dayak Ahoeng dan satu lagi saya lupa apa namanya.
Rumah adat Lamin, besar sekali bukan ukurannya. |
Tangga naik rumah Lamin. |
Suasana di dalam rumah Lamin. |
Di tiap rumah lamin tersebut ada kegiatan kebudayaan, entah latihan menari atau bermain alat musik yang tentunya antar rumah lamin satu dan lainnya berbeda.
Hari mulai gelap dan saya pun pergi pulang.... Anak
Besoknya seharian lanjut jalan ke air terjun, gua Maria dan danau..
A.) Air terjun
Ada banyak air terjun di Kutai Barat, salah satu yang aku datangi ialah air terjun Jantur Inaar, Jantur itu kata temenku artinya air terjun (bahasa Dayak Tunjung). Dari jalan utama menuju lokasi air terjun kita harus berjalan kaki naik turun bukit dan anak tangga yang licin akibat lumut. Setelah berjalan kaki kurang lebih 15 menit seketika terdengar gemuruh
Airnya adem, jernih dan rasanya mau berlama-lama mainan air disini ga mau pulang!
Selamat datang di Jantur Inaar. |
Tuhh tinggi banget kan air terjunnya. |
Jangan pijak batu yang berlumut ya, licin! |
Puas main di Jantur Inaar, temen saya membawa saya main ke air terjun lainnya yaitu Jantur Mapan yang kebetulan berada dekat dengan rumah sepupu teman dekat saya itu. Dan sepupu teman saya itu juga merupakan teman saya juga! Haha beruntung deh, sekalian main ke Jantur Mapan saya bisa mampir ke rumah sepupu teman saya. Jantur Mapan ini berada persis di sebelah / tepi jalan raya desa Mapan loh. Jadi gampang banget kesini. Tinggal pergi ke arah desa Mapan nanti pasti terlihat papan nama / gapura nya.
Air terjun Jantur Mapan ini benar-benar berada ditepi jalan raya loh. |
Puas mainan air, lapar pun tiba. Segera saja saya menuju rumah sepupu temen saya itu. Untuk bersilaturahmi sekaligus numpang makan siang. Hehehehe.
Rumah sepupu teman saya yang juga merupakan kawan saya. |
Kantor kepala kampung. |
Puskesmas yang megah namun sepi. |
Puas bertegur sapa, cerita-cerita kenangan masa lalu, bertanya-tanya kapan nikah, sekarang kerja dimana, tinggal dimana telah usai, kami pun melanjutkan perjalanan menuju sebuah danau. Namanya Danau Beluuq, saya lupa arah jalannya kemana tapi yang jelas jalan menuju kesana itu sangat hijau dan udaranya segar sekali. Sudah jauh-jauh kesana sayang seribu sayang danaunya tertutup tanaman liar semacam enceng gondok yang benar-benar tidak membuatnya terlihat seperti danau.
Mainan ke Danau Beluuq. |
Danaunya malah kayak rerumputan biasa karena ketutupan tanaman liar. |
Sebelum pulang duduk manis dulu disini. |
Tidak lama kami berada disini selain tidak ada yang bisa dilihat juga tidak ada orang lain, hiiii serem. Akhirnya kami pun memutuskan untuk pergi ke Gua Maria, tempat peziarahan umat Katolik di Kutai Barat. Jika biasanya gua Maria di kota besar itu merupakan gua buatan, namun disini Gua Marianya merupakan tempat yang alami. Gua Maria ini bersebelahan dengan sungai kecil yang berarus deras, jernih dan dingiiiin sekali airnya. Dan menurut penuturan temen saya sudah banyak sekali korban jiwa yang tenggelam ditempat itu? Glek, seketika saya urungkan niat untuk berlama-lama di sungai kecil tersebut.
Temen dekat saya selama di Kutai Barat. |
Macan dahan, fauna khas Kutai Barat. |
Ibu Maria kami datang. |
Aliran sungainya deras loh dan banyak yang meninggal disini. |
Macan Dahan & Tanaa Purai Ngeriman, Tanah subur yang melimpah-limpah artinya. |
Sepanjang jalan saya cuman membayangkan wahh saya sudah pernah ke Kutai Barat dan saya sedih sekaligus senang. Sedih karena harus kembali untuk bekerja dan senang saya bisa bertemu teman lama dan berjalan-jalan dengannya.
Terimakasih Yosafat alias Iyos atas kebaikan hatimu untuk menerimaku tinggal dirumahmu. Terimakasih juga buat Robby & Sapri semoga berbahagia dengan rumah tangga kalian.
Sampai jumpa lagi dilain waktu.....
Stadion Aji Imbut Tenggarong tampak dari kaca mobil. |
Suasana diatas kapal penyebrangan. |
Tepian Sungai Mahakam di kota Tenggarong. |
Kenangan tak terlupakan. |
Komentar
Posting Komentar