Helooo sobat semuanya,
Postingan kali ini aku sedang ingin membagikan pengalaman ketika mengikuti acara "Sedekah Bumi / Tegal Desa" di Kota Surabaya.
Hmmm, aku sendiri agak bingung kok bisa ya di kota besar macam Surabaya masih ada aja kegiatan seperti ini, aku pikir kegiatan syukuran ala tradisional hanya ada dan terdapat di daerah pedesaan, namun rupanya tidak berlaku di Surabaya.
Senang sekali rasanya aku bisa hadir mengikuti acara kegiatan ini karena bertepatan dengan masa liburanku di kota Surabaya. Pas banget begitu tiba disana (daerah Surabaya Barat) yang mana warganya sedang sibuk mempersiapkan acara syukur atas hasil dan rejeki yang melimpah sepanjang tahun. Biasanya yang menjadi panitia acara ini selalu bergantian dan bergiliran setiap tahunnya. Kali ini merupakan giliran daerah rumah keluargaku di Surabaya yang kebagian menjadi panitia. Kebayang kan bagaimana sibuknya para sepupu-ku disana untuk mempersiapkan segalanya. Aku sih kurang mengikuti apa saja yang mereka persiapkan karena aku datang pas ketika H-3 acara hendak dimulai.
Acara ini sendiri berisi beberapa kegiatan seperti hiburan tradisional berupa : Reog Ponorogo, iyesss Reog yang fenomenal itulohh, yang memakai seperangkat dadak merak, kulit harimau dan dengan dandandan pemainnya yang menyita perhatian. Reog ini ditampilan pada siang hari, nahh keesokan harinya semenjak pagi menuju sore hingga malam hari dan bahkan hingga dini hari diadakan hiburan....... Wayang Kulit! Arghhhhh pas banget yaah waktunya, aku soalnya penggemar pagelaran wayang, meskipun aku kadang susah mencerna apa artinya kata-kata yang dilantunkan oleh ibu Sinden dan pak Dalang namun aku terhibur dengan alunan bunyi gending gamelan-nya, nyanyian sindennya. Seolah terhipnotis gitu! *Lebay gak sih?
Nah kalau acara Reog diadakan di lapangan sepak bola di dalam kompleks rumah keluarga saya, maka acara Wayang Kulit semalam suntuk diadakan di pendopo kompleks, hebat yaa Surabaya walau kota besar namun tetap mempertahankan hal-hal seperti pendopo.
Sebenarnya pendopo ini seperti aula pertemuan yang banyak terdapat di daerah lainnya, semacam gedung multifungsi yang digunakan oleh warganya lah. Namun ada yang berbeda dengan pendopo di daerah dimana saya tinggal tersebut. Ada cerita dan benang merah yang terhubung dengan cerita heroik khas kota Surabaya. Alkisah jaman dulu sekali di kota Surabaya hiduplah seorang pemuda bernama "Sawunggaling" yang mana kisah hidupnya banyak dijadikan dongeng / cerita heroik ala suburban di kota Surabaya, disini saya tidak akan bercerita panjang lebar mengenai sosok Sawunggaling yaa, bagi kalian yang penasaran silahkan googling sendiri (budayakan menjadi pembaca yang smart dan tidak malas membaca dan mencari referensi, *cieeeh gaya bgt kata-kata lu tong!). Nah Sawunggaling dulunya dipercaya pernah beristirahat dan melewati daerah saya yang sekarang di bangun pendopo itu.
Makanya acara Sedekah Bumi ini banyak dipusatkan di pendopo ini salah satu alasannya ya karena tempat itu dulunya pernah disinggahi oleh Sawunggaling. Hihihi seru yaaa.
Lanjut ke cerita utama, sesaat sebelum acara Wayang Kulit dimulai saya sudah dateng duluan lebih awal, gak mau rugi dan ketinggalan sesisi acara disana! Bela-belain gak tidur siang loh, hahah rugi meeen liburan cuman diisi tidur siang yang tidak berfaedah. Ya gak sih?
Menurut kepercayaan yang turun temurun seisi warga yang tinggal di daerah saya harus membawa makanan di dalam "tampih/tempeh" ituloh wadah dari anyaman bambu buat mengayak beras. Makanan biasanya nasi tumpeng, sayur urap, ayam panggang utuh, telur rebus dan lain-lain. Yahh namanya mungkin jaman dulu itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME atas rejeki dan keberhasilan panen. Namun sekarang hal itu sepertinya hanya sebagai simbolis rasa syukur sekaligus silaturahmi sesama warga bukan?
Kebayang dong betapa banyaknya makanan yang diletakkan di pendopo itu? hampir setiap rumah membawa makanan kesana, nanti setelah pembacaan doa makanan itu nantinya akan dimakan ramai-ramai dan..... rebutan. Seru gak sih?
Aku ikutan rebutan paham ayam! gak mo rugi, namanya juga lapar dari pagi sudah disana, haha habisnya menggoda iman banget itu ukuran paha ayam panggangnya.
Selain itu ada juga sebuah "gunungan" yang terdiri dari sayur-mayur, buah-buahan yang disusun sedemikian rupa seperti gunung. Ada kepercayaan barang siapa yang bisa mendapatkan buah atau sayur tersebut nantinya akan mendapat berkah melimpah. wuihhhh jelas aja aku gak mau juga ketinggalan berebutan buah dan sayur yang dipercaya memiliki berkah. Hehehe bukannya gak percaya Tuhan ya dengan ikut seperti ini, tapi aku lebih karena menghormati kearifan lokal yang berlaku. Yahh manatau juga aku mendapat berkah, ya ga? jadi ga ada salahnya mencoba.
Ohya di pendopo itu terdapat sebuah rumah kecil yang sepertinya dikeramatkan lohhh, didalam rumah itu terdapat sebuah tunggul pohon yang sudah mati dan dibalut kain putih & kuning, konon menurut cerita dari mulut ke mulut dulunya Sawunggaling pernah beristirahat dibawah pohon itu (napak tilas). Sehingga walaupun sekarang pohonnya sudah mati tapi sisa-sisanya masih tetap ada. Unik yaaa ternyata ada benang merah antara cerita dongeng heroik dengan bukti nyata, seperti sisa-sisa pohon tadi. Antara percaya ga percaya sih, yaah nikmati saja.
Nah kalau di kota Surabaya itu jika ada acara Wayang Kulit maka acara pembukaanya adalah tarian "Remo" yang dibawakan oleh beberapa orang baik pria maupun wanita. Selain itu di sela-sela pertunjukan Wayang, akan ada selingan hiburan humor/guyonan ala Suroboyoan, nah cuma di sesi ini aku baru bisa memahami apa aja yang dimaksud dari percakapan guyonan mereka hahahaha karena mereka memakai bahasa Jawa sehari-hari dan bahasa yang dipakai pak Dalang saat mementaskan Wayang Kulit adalah bahasa Jawa yang halus. Sayang sekali aku ga bisa memahami artinya dan sepupu-sepupu ku pun juga ga ada yang bisa memahami bahasa Jawa yang halus. Hmmm semoga kelak aku dapat mempelajarinya agar tidak punah bahasa tersebut.
Berikut gambar-gambar yang bisa saya ambil :
Makanan yang dibawa warga akan disusun panitia. |
Sesaat sebelum acara dimulai. |
Gunungan yang nantinya akan diperebutkan. |
Tunggul pohon yang dikeramatkan. |
Janur kuning, pertanda sedang ada hajatan. |
Wayang Kulit berjejer rapi sebelum pentas. |
Kebetulan juru kunci-nya bisa dibilang masih merupakan nenek saya, minta doanya ya mbah. |
Meja untuk menaruh sesajen. |
Setiap berpapasan selalu ditawari kopi. |
Pertunjukkan dimulai. |
Ukiran naga-nya itu lohh aku suka banget. |
Duduk dan nikmati saja alur cerita. |
Anak-anak sekitar kompleks menari Remo. |
Gak pegel apa ya Sinden-nya duduk dari siang hari hingga dini hari? |
![]() |
Bersama pemain Reog dengan latar Dadak Merak. |
![]() |
Eits jangan diambil dulu yaa. |
Komentar
Posting Komentar